Teras Merdeka – Menemukan harta karun tak terkira seringkali hanya dianggap sebagai dongeng atau cerita isapan jempol semata. Namun hal itu tidak berlaku bagi seorang petani bernama Cipto Suwarno yang tinggal di pedesaan Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah.
Ia bekerja di sawah setiap hari. Namun pada Rabu 17 Oktober 1990, ketika Cipto mencangkul sawah, ia menemukan sesuatu benda yang cukup keras.
Mulanya dia berpikir hanya batu dan lantas menyingkirkannya. Akan tetapi, saat benda keras itu diangkat, pemandangan langka datang ke hidupnya yang tak mesti terjadi setahun sekali itu.
“Emas, emas, emass!!!” teriak Suwarno.
Betapa kagetnya dia melihat benda keras bukanlah batu, melainkan guci keramik dibalut emas. Rekan-rekan persawahannya pun langsung berkerumun. Di hadapan para pejabat desa, dia melanjutkan penggalian dan ditemukan harta karun fantastis: 16 Kg emas.
“Jika dirinci, barang temuan tadi terdiri dari bokor gembung, 6 tutup bokor, 3 gayung, 1 baki, 97 gelang, 22 mangkuk, pipa rokok, guci besar, 2 guci kecil, 11 cincin, 7 piring, 8 subang, tas tangan, keris, manik-manik, dan uang logam,” tulis Tempo (3 November 1990).
Baca Juga: Kayu Gaharu si ‘Emas Hijau’ Potensi Besar Ekspor Indonesia
Penemuan Suwarno kemudian dicatat sejarah sebagai Harta Karun Wonoboyo yang kelak dianggap sebagai temuan arkeologi berupa emas terbesar sepanjang sejarah.
Para arkeolog menyimpulkan, seluruh harta karun tersebut berasal dari akhir abad ke-9 hingga pertengahan abad ke-10.
Kesimpulan ini diperoleh karena bentuk temuan emas yang sesuai dengan zamannya. Dalam mangkuk emas ada relief Ramayana. Lalu, di koin emas terdapat tulisan “Saragi Diah Bunga.”
Terlepas dari kapan dan dari mana harta itu berasal, Harta karun Wonoboyo dapat mengindikasikan bagaimana orang-orang Jawa pada masa kerajaan kuno abad ke-9 dan 10, baik elit atau rakyat biasa, menggunakan emas dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, jauh sebelum masa itu.
Kemelekatan Emas dengan Masyarakat Jawa
Dahulu emas memang bisa diperoleh dengan mudah dan murah. Alhasil, benda berharga itu melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa kuno.
Berbagai catatan menunjukkan, di era Majapahit (1293-1527 M) misalnya, para bangsawan kerap memiliki emas dalam jumlah besar. Berbagai benda dilapisi oleh emas, mulai dari kereta hingga kipas.
Selain itu, mengutip CNBC, sebagaimana dipaparkan Stuart Robson dalam Desawarna by Mpu Prapanca (1995), kerajaan Daha yang sezaman dengan Majapahit juga punya kebiasaan serupa.
Ia menyoroti kebiasaan putri dari Raja Daha yang kerap menggunakan kereta berlapis emas.
Lalu, arkeolog Slamet Mulyana dalam Menuju Puncak Kemegahan (2012), menceritakan bagaimana emas menjadi barang idaman di era Majapahit seperti yang ditulis oleh Empu Prapanca dalam Nagarakertagama.
“Ia ingin sama dengan empu Winada yang bercita-cita mengumpulkan banyak uang dan emas,” tulis Prapanca, ditulis ulang oleh Slamet Mulyana.
Kegemaran mengoleksi emas juga tak hanya untuk estetika, tetapi juga transaksi perdagangan.
Erwin Kusuma dalam Uang Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya (2021) mencatat, masyarakat Jawa kuno lazim menggunakan emas dalam transaksi perdagangan di pasar.
Baca Juga: Belanda Kembalikan 200 Lebih Harta Karun Indonesia
Hanya saja, transaksi melalui emas digunakan dalam skala besar, seperti jual-beli tanah, bukan transaksi di pasar.
Kaitan antara masyarakat Jawa dan emas juga kerap menjadi sorotan penjelajah asing.
Saat berkunjung ke Jawa, penjelajah China takjub melihat para raja hidup mewah. Seperti diceritakan Nusantara dalam Catatan Tionghoa (2009), penjelajah China tersebut melihat emas bertaburan di sekitar raja. Saat makan saja mereka menggunakan peralatan berbahan emas.