Teras Merdeka — Perkembangan teknologi digital yang membuat arus informasi kian cepat dan masif dinilai membawa tantangan serius bagi masyarakat. Di tengah kemudahan akses informasi, kemampuan publik untuk memilah, memahami dan menyikapi informasi secara matang menjadi kebutuhan yang mendesak.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah, Heri Pudyatmoko yang akrab disapa Heri Londo, menegaskan bahwa literasi publik saat ini tidak cukup dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis, melainkan kecakapan berpikir kritis dalam menghadapi banjir informasi.
“Informasi sekarang datang sangat cepat, bahkan sering kali mendahului proses berpikir kita. Kalau literasi publik tidak matang, masyarakat mudah terseret emosi, disinformasi, bahkan konflik,” ujar Heri di Semarang.
Menurutnya, tantangan utama di era digital bukan lagi kekurangan informasi, melainkan kelebihan informasi yang tidak semuanya dapat dipertanggungjawabkan. Kondisi ini berpotensi mengganggu kualitas demokrasi dan kohesi sosial apabila tidak disikapi secara bijak.
Heri menyoroti masih rendahnya kesadaran sebagian masyarakat dalam memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, terutama di media sosial dan grup percakapan digital. Padahal, satu informasi keliru dapat berdampak luas dan memicu kegaduhan di ruang publik.
“Literasi publik itu bukan soal siapa paling cepat membagikan kabar, tapi siapa yang paling bertanggung jawab dalam menyikapinya. Kedewasaan literasi menentukan kualitas ruang publik kita,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa penguatan literasi tidak bisa dibebankan hanya kepada individu. Negara, lembaga pendidikan, media massa, serta komunitas masyarakat memiliki peran penting dalam membangun ekosistem literasi yang sehat dan berkelanjutan.
Menurut Heri, sekolah dan perguruan tinggi perlu mendorong pembelajaran yang melatih nalar kritis, bukan semata mengejar capaian akademik.
Sementara itu, media massa dituntut menjaga integritas informasi agar tetap menjadi rujukan yang tepercaya di tengah maraknya konten instan.
“Kalau masyarakat hanya disuguhi potongan informasi tanpa konteks, maka publik akan mudah terpolarisasi. Literasi yang matang justru membantu masyarakat tetap rasional, meski berbeda pandangan,” jelasnya.
Dalam konteks kebijakan daerah, Heri mendorong pemerintah untuk lebih aktif menghadirkan program literasi publik yang adaptif terhadap perkembangan teknologi, termasuk literasi digital dan etika bermedia.
“Pembangunan fisik harus berjalan seiring dengan pembangunan kualitas berpikir masyarakat. Tanpa literasi yang kuat, kemajuan teknologi justru bisa menjadi sumber masalah baru,” katanya.
Ia berharap peningkatan literasi publik dapat menjadi fondasi bagi masyarakat Jawa Tengah yang lebih kritis, tenang dan bertanggung jawab dalam menyikapi dinamika informasi.
“Literasi bukan untuk membungkam perbedaan, tapi untuk memastikan perbedaan itu lahir dari pemahaman, bukan dari kebisingan,” pungkasnya. [Adv]















