Teras Merdeka — Nilai gotong royong dinilai masih relevan sebagai fondasi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Namun, cara memaknainya perlu disesuaikan dengan perubahan zaman agar tidak berhenti sebagai jargon budaya semata.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah, Heri Pudyatmoko, menegaskan bahwa gotong royong saat ini tidak bisa lagi dimaknai secara sempit sebagai kerja fisik bersama, melainkan harus diterjemahkan dalam konteks sosial, ekonomi, dan kebijakan publik yang lebih luas.
“Gotong royong bukan sekadar kerja bakti atau simbol budaya. Di tengah masyarakat yang semakin kompleks, gotong royong harus hadir dalam bentuk kolaborasi, kepedulian sosial, dan keberpihakan kebijakan,” ujar Heri.
Menurutnya, perubahan struktur masyarakat mulai dari urbanisasi, digitalisasi, hingga pola kerja yang semakin individual telah menggeser praktik gotong royong tradisional. Meski demikian, nilai dasarnya tetap relevan jika dimaknai secara kontekstual.
Heri menilai tantangan utama saat ini adalah bagaimana semangat gotong royong dapat diterjemahkan ke dalam tata kelola pemerintahan, pembangunan daerah, dan kehidupan bermasyarakat tanpa kehilangan esensi kebersamaan.
“Dalam kebijakan publik, gotong royong berarti kehadiran negara yang bekerja bersama masyarakat. Pemerintah, swasta, komunitas, dan warga tidak berjalan sendiri-sendiri,” jelasnya.
Ia mencontohkan, penanganan persoalan sosial seperti kemiskinan, bencana alam, hingga ketimpangan akses pendidikan dan kesehatan membutuhkan pendekatan kolaboratif lintas sektor. Tanpa semangat gotong royong yang adaptif, kebijakan berpotensi berjalan parsial dan tidak berkelanjutan.

Selain itu, Heri juga menekankan pentingnya menanamkan nilai gotong royong kepada generasi muda dengan pendekatan yang relevan dengan realitas mereka saat ini.
“Generasi muda hidup di era digital. Gotong royong bisa hadir dalam bentuk solidaritas sosial, gerakan komunitas, advokasi kebijakan, hingga kolaborasi berbasis teknologi. Nilainya sama, bentuknya yang berbeda,” katanya.
Ia mengingatkan, jika gotong royong hanya dipertahankan sebagai simbol atau nostalgia masa lalu, nilai tersebut akan kehilangan daya hidup di tengah masyarakat modern.
“Budaya yang tidak dimaknai ulang akan ditinggalkan. Gotong royong harus menjadi etos hidup yang kontekstual, bukan sekadar slogan,” tegas Heri.
“Gotong royong adalah tentang rasa memiliki dan tanggung jawab bersama. Ketika itu hadir dalam kebijakan dan kehidupan sosial, pembangunan akan lebih adil dan berkelanjutan,” pungkasnya. [Adv]














