Teras Merdeka – Ada banyan menu makanan yang hanya bisa ditemui ketika bulan Ramadhan. Salah satunya, kolak.
Olahan makanan yang satu ini sering diburu oleh masyarakat untuk dijadikan takjil ketika berbuka puasa.
Kolak dibuat dengan siraman kuah santan yang pekat dengan aroma pandan yang khas, ditambah irisan pisang kepok berpadu dengan kolang-kaling yang kenyal, maupun bahan-bahan lainnya. Seperti nangka, tape singkong, ubi, dan masih banyak lagi.
Mengutip dari berbagai sumber, merunut akarnya, kolak nyatanya bukan sekadar makanan biasa.
Di balik manisnya kolak, ada arti serta filosofi yang lebih mendalam. Bahkan, memiliki makna religius.
Banyak cerita urban dari Tanah Jawa yang mengatakan bahwa kata Kolak, berasal dari kata “Kholaqo” yang memiliki arti menciptakan, dan “Khaliq” yang memiliki arti Sang Pencipta.
Cara Ini disebut sebagai salah satu upaya yang digunakan Walisongo saat memberikan pengajaran tentang pengetahuan Islam di Tanah Jawa.
Kolak dijadikan sebagai simbol mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Terlebih ketika bulan Ramadhan, bulan di mana seluruh umat Islam berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ada pula sumber yang mengatakan jika kolak berasal dari “Khala” yang artinya adalah kosong. Di sini, kolak dimaknai sebagai bentuk mengosongkan diri dari dosa.
Sebagai pengisyarata, kolak dibuat agar masyarakat selalu mengingat Tuhan atas apa yang telah berikan-Nya.
Makna Masing-masing Isian Kolak
Kisah lain terkait sejarah kolak yaitu, makanan ini sering disebut-sebut berasal dari kata “Kula” yang memiliki arti perkumpulan.
Nama ini diambil lantaran di dalam kolak, terjadi perkumpulan aneka isian seperti pisang, ubi, kolang-kaling, dan lain sebagainya.
Isian yang bermacam-macam ini dikaitkan dengan ajaran Islam.
Ubi atau telo pendem mengisyaratkan manusia untuk selalu ingat dengan kematian dan dikubur (dipendem) dalam tanah.
Selain itu, juga dimaknakam sebagai perwujudan bahwa kita, harus bisa memendam dan mengubur kesalahan-kesalahan serta dosa, sehingga tidak mengulanginya lagi.
Sedangkan pisang kepok yang juga sering kita temukan menjadi isian kolak, juga memiliki maknanya sendiri.
Pengucapan kepok tersebut dekat dengan “kapok” atau jera. Maksudnya, kita diingatkan supaya merasa kapok melakukan dan segera bertaubat atas dosa yang pernah kita lakukan.
Sementara itu, Santan atau dalam bahasa Jawa disebut Santen, memiliki pengucapan yang dekat dengan kata pangapunten atau permohonan maaf.
Hal ini dimaknai sebagai perwujudan permohonan maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan.
Ketika menyantap semangkuk kolak, kita seperti diingatkan untuk semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Termasuk berteguh untuk tidak mengulangi segala kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat.