KASUS pernikahan dini di Indonesia masih menjadi momok bagi kemajuan bangsa. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menerbitkan data bahwa angka perkawinan anak di Indonesia per tahun 2023 adalah 6,92%. Angka tersebut diketahui turun apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni dari 10,35% pada 2021 dan 8,06% pada 2022.
Angka pernikahan secara umum juga menurun dalam enam tahun terakhir. Hal ini jika melihat data dari sumber yang sama, bahwa 68,29% anak muda Indonesia belum menikah pada tahun 2023.
Namun begitu, bukan berarti persoalan pernikahan dini bisa dianggap remeh. Pasalnya, hal ini erat kaitannya dengan kemajuan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia ke depan. Bahkan, Indonesia sendiri masih menempati peringkat empat di dunia untuk kasus perkawinan anak.
Dalam kasus pernikahan dini, anak perempuan menjadi yang paling banyak mengalami kasusnya. Baik karena perjodohan maupun karena faktor ekonomi. Hal ini begitu memprihatinkan, mengingat perempuan memiliki peran krusial dalam kemajuan bangsa.
Sebagaimana Ir. Soekarno pernah menuliskan dalam bukunya yang berjudul Sarinah bahwa “Wanita adalah tiang negara, apabila dia baik maka baiklah negara, dan apabila dia rusak maka rusaklah negara itu”.
Pun dalam Islam, seorang penyair Mesir terkenal dari awal abad ke-20, Hafez Ibrahim pernah menuliskan, “Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq.” Di mana memiliki arti bahwa Ibu adalah madrasah atau pendidik pertama anaknya. Jika engkau mempersiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau mempersiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.
Bahkan, penggalan bait tersebut juga banyak digunakan sebagai dakwah dalam Islam untuk menegaskan betapa pentingnya peran perempuan dalam kemajuan zaman. Oleh karenanya, perempuan perlu memiliki bekal yang mumpuni untuk menjalankan peran sebagai pendidik pertama bagi generasi penerus.
Bekal ini sebenarnya tak hanya harus diperoleh bagi perempuan, melainkan semua anak bangsa. Salah satu yang utama ialah pendidikan. Akan tetapi, kita harus menerima kenyataan jika pendidikan masih merupakan fasilitas mewah bagi anak negeri.
Penuntasan Pernikahan Dini
Salah satu aspek yang perlu dipenuhi dalam penuntasan pernikahan dini ialah dengan pemenuhan pendidikan berkualitas tinggi. Baik untuk anak perempuan maupun laki-laki, serta bersifat berkelanjutan.
Artinya, pendidikan yang diberikan tidak hanya berupa pendidikan formal, melainkan juga jaminan terhadap pendidikan yang inklusif dan merata. Mulai dari pemenuhan sarana dan prasarana, ketersediaan tenaga pendidik yang mampu “mengajar” dan tidak hanya memberikan pelajaran, sistem pendidikan yang “menumbuhkan” karakter, hingga kurikulum yang efektif dalam membantu perkembangan kecerdasan dan keunikan setiap individu.
Selain itu, kesadaran terhadap pendidikan berkualitas juga harus semakin ditingkatkan. Pasalnya tak bisa dipungkiri bahwa di masyarakat kita saat ini, terutama di Kabupaten Batang, masih banyak orang tua yang enggan menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi. Terutama karena alasan ekonomi. Ketakutan terhadap biaya sekolah menjadi momok yang menghentikan cita-cita generasi muda untuk ‘berpengetahuan’.
Padahal, menjajaki sekolah tinggi tidak selalu tentang mendapatkan label dan pekerjaan lebih baik, tetapi juga bagaimana individu dapat berproses dan berdialektika dengan kehidupan. Khususnya untuk membentuk kedewasaan dan mampu berperan dalam pengambilan keputusan dan tindakan.
Karena ketabuan yang masih diyakini itu, pada akhirnya, anak-anak akan terantai oleh kondisi keluarga, bekerja di sekitar rumah, dan buru-buru menikah karena takut dengan stigma apabila tak segera berjodoh.
Miris, tapi begitulah faktanya. Persoalan pernikahan dini memang memiliki efek domino terhadap banyak sektor. Tak hanya terkait pendidikan dan kemiskinan, melainkan juga erat kaitannya dengan persoalan stunting yang mendera negeri ini.
Anak-anak dinikahkan, sedang kondisi fisik dan psikisnya belum begitu matang. Alhasil, generasi yang dilahirkan pun susah menggariskan DNA unggul, karena keterbatasan pemenuhan nutrisi dan kekebalan tubuh, karena sang ibu pun belum sempurna bertumbuh.
Belum lagi, kesiapan menjadi orang tua yang juga minim, bisa saja menimbulkan tak terkendalinya emosi dan berujung pada peningkatan angka perceraian.
Seperti mata rantai yang tak berujung, perkara pernikahan dini mampu membelenggu bangsa dalam mewujudkan generasi unggul dan produktif. Hal ini tak hanya menjadi PR pemerintah sebagai pemangku kepentingan, tetapi juga kesadaran kolektif oleh seluruh masyarakat. Sehingga, penuntasan tidak sekedar menekan hingga angka terendah, melainkan mampu membentuk paradigma kesadaran terhadap kemajuan dan kualitas hidup yang lebih baik.
Perwujudan Generasi Emas
Indonesia digadang-gadang sebagai negara yang berpijak pada era bonus demografi atau dividen demografi pada tahun 2030 dan generasi emas pada tahun 2045. Di mana kondisi ini memungkinkan penduduk Indonesia didominasi oleh masyarakat usia muda dan produktif.
Bahkan, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pergerakan menuju bonus demografi sudah berlangsung hari ini. Data tersebut menyebutkan bahwa dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 275,77 juta jiwa pada tahun 2022, 69,25 persen di antaranya masuk kategori usia produktif (usia 15-64 tahun).
Hal ini menjadi alarm keras untuk segera mempersiapkan SDM yang unggul dan berkualitas. Jika tidak, bukan keunggulan generasi yang akan dimiliki, melainkan krisis generasi yang berakibat pada penghambatan kesejahteraan.
Perwujudan SDM unggul dapat digerakkan melalui pemberdayaan generasi muda. Seperti membantu pemenuhan akses terhadap teknologi terbarukan, serta fasilitas maupun pelayanan pendidikan yang layak agar tidak terjadi ketimpangan sosial.
Lagi-lagi soal pendidikan. Memang sudah menjadi fakta telak bahwa pendidikan menjadi sumber dari segala muara kehidupan. Namun begitu, kemewahan itu dapat terenggut dari generasi kita hanya karena keputusan untuk menikah sebelum mencapai usia matang.
Apabila generasi muda tidak mendapat akses untuk mengembangkan dirinya, bukan tidak mungkin jika Indonesia akan berada pada titik krisis dan tertinggal dari bangsa lain. Baik dari segi ekonomi, pendidikan, pembangunan serta faktor kesejahteraan lainnya.
Dalam hal ini, pembangunan bangsa harus dimulai dan menyentuh hingga ke akar. Khususnya pembangunan di wilayah desa, salah satunya peningkatan kualitas SDM. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa sektor di desa menjadi salah satu pendongkrak terbesar dalam pembangunan ketahanan nasional.
Oleh karenanya, fakta masih banyaknya kasus pernikahan dini ini, menjadi tamparan untuk segera sadar bahwa kita semua harus bergerak. Generasi emas tidak mungkin dapat terwujud dalam proses yang instan dan begitu saja. Melainkan membutuhkan proses yang bertahap dan dinamis. Jangan sampai, mata rantai generasi emas terputus atau cacat hanya karena kita lalai untuk menjaga setiap generasi yang lahir mendapatkan haknya untuk hidup layak dan sejahtera.
Generasi emas tentu akan lahir dari orang tua dan lingkungan yang membantunya bertumbuh dengan baik. Dan setiap generasi, terutama setiap individu, memiliki hak yang sama untuk melahirkan dan menciptakan generasi emas, atau bahkan menjadi generasi emas itu sendiri.
Satu hal yang dapat dipastikan, generasi yang baik tidak mungkin kehilangan haknya untuk berproses dan berpengetahuan. Tingginya produktivitas juga tidak disandarkan dari banyaknya angka kelahiran, melainkan dari besarnya kesiapan untuk memerankan eksistensinya dalam kehidupan.
Bukankah kita diajarkan untuk selalu menghayati proses, dan bukan terburu-buru untuk menjajaki setiap anak tangga? Pun dalam hidup, keputusan untuk mengambil peran (menikah dan berketurunan) juga perlu dipersiapkan semaksimal mungkin, untuk hari esok yang lebih baik.
Ditulis oleh: Redaksi Teras Merdeka