Teras Merdeka — Zona megathrust di Indonesia mengalami perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia terbaru, jumlah zona megathrust bertambah dari 13 pada 2017 menjadi 14 zona pada 2024.
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) sekaligus Guru Besar ITB, Iswandi Imran, menyoroti perbedaan mencolok antara peta lama dan peta terbaru tersebut. Ia menjelaskan bahwa perubahan ini menunjukkan adanya peningkatan potensi bahaya gempa di sejumlah wilayah Indonesia.
“Antara yang sebelumnya 2017 dengan 2024 yang paling atas ya kalau kita lihat kontur lebih rapat ya yang pada 2024 yang mengindikasikan sebenarnya adanya peningkatan bahaya gempa di daerah-daerah tertentu di Indonesia,” ujarnya, dikutip dari CNBC Indonesia, Sabtu (13/12/25).
Dalam peta terbaru tersebut, zona megathrust Jawa tercatat memiliki potensi gempa terbesar dengan magnitudo maksimum mencapai 9,1. Sementara itu, beberapa zona lain seperti Enggano serta Mentawai–Pagai diperkirakan mampu memicu gempa hingga magnitudo 8,9.
Daftar lengkap “14 zona megathrust” dalam Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2024
- Zona Megathrust Aceh–Andaman (magnitudo maksimal 9,2)
- Zona Megathrust Nias–Simelue (8,7)
- Zona Megathrust Batu (7,8)
- Zona Megathrust Mentawai–Siberut (8,9)
- Zona Megathrust Mentawai–Pagai (8,9)
- Zona Megathrust Enggano (8,9)
- Zona Megathrust Jawa (9,1)
- Zona Megathrust Jawa bagian barat (8,9)
- Zona Megathrust Jawa bagian timur (8,9)
- Zona Megathrust Sumba (8,9)
- Zona Megathrust Sulawesi Utara (8,5)
- Zona Megathrust Palung Cotobato (8,3)
- Zona Megathrust Filipina Selatan (8,2)
- Zona Megathrust Filipina Tengah (8,1)
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa terdapat dua zona megathrust yang saat ini masih menyimpan energi besar dan belum melepaskannya dalam waktu sangat lama.
Kedua zona tersebut adalah Megathrust Selat Sunda, yang terakhir memicu gempa besar pada 1757, serta Megathrust Mentawai–Siberut pada 1797.
BMKG menjelaskan kondisi tersebut dikenal dengan istilah seismic gap, yakni wilayah yang secara geologis masih memiliki potensi gempa besar karena belum melepaskan energi tektoniknya dalam jangka waktu panjang.
Meski demikian, BMKG menegaskan bahwa tidak ada teknologi atau metode ilmiah yang mampu memprediksi secara pasti kapan gempa besar akan terjadi, termasuk kemungkinan tsunami yang menyertainya.
“Tinggal menunggu waktu bukan ramalan. Kalimat ini sering disalahartikan. Yang dimaksud adalah zona tersebut menyimpan potensi besar karena sudah lama tidak melepaskan energi. Bukan berarti gempa akan terjadi dalam waktu dekat,” tulis BMKG dalam unggahan di akun Instagram resminya beberapa waktu lalu.
“Istilah ilmiah ini digunakan sebagai bentuk kewaspadaan berdasarkan data sejarah dan geologi, bukan untuk menimbulkan kepanikan. Dalam Undang-Undang No 31/2009, BMKG bertanggung jawab atas pengamatan, pengelolaan data, pelayanan informasi, termasuk gempa bumi dan tsunami,” jelas BMKG.














