Teras Merdeka – Harga daging ayam yang meroket hingga Rp 50 ribu per kg membuat masyarakat resah. Melambungnya harga daging ayam dipicu kenaikan harga jagung yang berdampak pada produksi pakan ternak.
Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN), Alvino Antonio mengungkapkan, harga jagung di tingkat peternak saat ini dijual Rp 8.900 hingga Rp 9.500 per kg.
Padahal normalnya, harga jagung di tingkat peternak dijual Rp 8.500 per kg.
Mengutip panel harga badan pangan nasional, harga jagung pipil di tingkat peternak dibanderol Rp 4.840 per kg, turun Rp 10 dibandingkan pekan lalu Rp 4.850 per kg.
Sementara itu, mengutip trading economics, harga jagung dijual US$635 per bushel (1 bushel setara dengan 25 kg).
Akibat mahalnya harga jagung tersebut, pakan ternak akhirnya turut terkerek. Alvino mengatakan bahwa saat ini, harga pakan dijual Rp 5.700 hingga Rp 6.000 per kg tergantung jenisnya.
“Normalnya, harga pakan itu Rp 5.000-an. Ini sudah naik dari tahun lalu, karena dipengaruhi harga jagung. Komposisi jagung ini kan menyumbang 50 persen di pakan ternak,” ungkapnya, dikutip dari CNNIndonesia.com, Rabu (28/6/2023).
Tak hanya harga jagung yang melambung, bibit ayam pun turut terkerek dari Rp 5.000 per ekor menjadi Rp 7.500 hingga Rp 8.500 per ekor.
Akibatnya, harga jual daging ayam meroket menembus hingga Rp 50 ribu per Rabu (28/6/2023).
Lonjakan harga ayam dibuktikan sendiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengecek langsung penjualan unggas itu di Pasar Palmerah.
Menurut Jokowi, kenaikan harga ayam dipicu oleh masalah pasokan.
Jika mengacu pada harga acuan penjualan (HAP) dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) No. 5/2022, harga jual daging ayam seharusnya sekitar Rp 36.750/kg untuk konsumen dan Rp 21 ribu per kg-Rp 23 ribu per kg untuk peternak.
Adapun untuk telur ayam, harga ditetapkan sebesar Rp 27 ribu per kg untuk konsumen dan Rp 22 per kg-Rp 24 per kg untuk peternak.
Alvino menduga, selain karena pakan dan jagung, kenaikan harga ayam juga disebabkan adanya beberapa pedagang eceran yang memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan besar. Terutama dengan meningkatnya permintaan akan daging ayam menjelang Hari Raya Iduladha 1444H.
“Kemungkinan ada praktik yang dilakukan oleh pedagang eceran tertentu. Mereka yang masih memiliki stok atau pasokan akan menjual dengan harga yang sangat tinggi untuk mendapatkan keuntungan besar. Padahal, sebenarnya harga seharusnya tidak mencapai angka tersebut,” jelasnya.
Selain itu, Alvino juga mempertanyakan alasan di balik aksi unjuk rasa dan mogok jualan yang dilakukan oleh pemasok atau pedagang besar.
Menurut penjelasannya, pihak tersebut sebenarnya bukanlah yang merasakan dampak dari kenaikan harga daging ayam ras.
“Seharusnya aksi unjuk rasa dilakukan oleh masyarakat. Pemasok atau pedagang besar tetap dapat melakukan penjualan karena permintaan tetap ada. Meskipun dijual dengan harga tinggi, pasti masih ada yang membeli. Menurut saya, hal ini sangat aneh,” pungkasnya.