Teras Merdeka – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani mengatakan bahwa prinsip adil dan terjangkau penting dalam transisi energi. Terutama dalam pembahasan di Conference of The Parties (COP) yang merupakan konferensi perubahan iklim.
“Namun tidak hanya retorika. Jika kita tidak mempersiapkan diri pada prinsip adil dan terjangkau secara nyata, maka tidak akan ada kemajuan,” kata Sri Mulyani dalam acara Munich Security Conference bertajuk “Power Shifts: Geopolitics of the Green Transition”, Sabtu (18/2/2023).
Menurut penjelasannya, prinsip adil dan terjangkau diterapkan di Indonesia secara nyata dalam mekanisme transisi energi yang sedang dirancang.
Indonesia kini sedang mendesain rencana pensiun dini terhadap tiga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Pemberhentian dilakukan dalam rangka mengurangi emisi karbon. Di mana pemerintah memberlakukan pengurangan kontrak secara bertahap, salah satunya kepada pembangkit listrik independen (Independent Power Producer/IPP).
Pemberian kontrak terhadap PLTU batu bara pada awalnya adalah selama 30 tahun. Dengan adanya target mengurangi emisi karbon, kontrak tersebut diperpendek menjadi 15 tahun.
Dalam pengurangan masa kontrak, Sri Mulyani menyebut perusahaan tentunya meminta kompensasi. Dengan demikian, pemerintah harus memiliki posisi fiskal yang sehat untuk mengatasi permasalahan tersebut.
“Kondisi ini yang terus kami bahas dan itulah mengapa Indonesia pada masa kepresidenan G20 tahun lalu, kami meluncurkan mekanisme transisi energi ini,” paparnya.
Berkat langkah nyata yang dilakukan Indonesia dalam transisi energi, Sri Mulyani mengungkapkan banyak negara termasuk Jerman, Amerika Serikat, hingga Jepang yang mengumumkan janji kemitraan transisi energi sebesar 20 miliar dolar AS.
Ia mengatakan, komitmen tersebut akan dialokasikan bagi Indonesia untuk mendukung transisi energi yang adil dan terjangkau.