Teras Merdeka – Beban perekonomian Indonesia semakin berat lantaran pendapatan masyarakat yang rendah hingga minimnya ketersediaan lapangan kerja, sehingga membuat daya beli masyarakat lemah. Fenomena ini terlihat dari terus merosotnya jumlah kelas menengah.
S&P Global pada 1 November 2024 lalu merilis angka Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang menunjukkan kondisi tersebut.
PMI Manufaktur kontraksi empat bulan beruntun: Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), dan Oktober (49,2), karena tidak ada yang membeli barang akibat lemahnya daya beli masyarakat.
“Ini adalah merupakan wake up call, artinya ini sudah warning buat kita bahwa kelas menengah ini penciptaan lapangan kerja dan juga daya beli mereka itu harus diperbaiki ke depan,” kata Ekonom senior yang merupaoan co-founder Creco Research, Raden Pardede pada Minggu (10/11/2024), dikutip dari CNBC Indonesia dikutip Rabu (13/11/2024).
“Karena tanpa kelas menengah saya pikir akan sangat sulit buat kita bertumbuh dengan baik apalagi kalau kita bercita-cita untuk bertumbuh ke arah 8%,” tegas Raden.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga telah mengumumkan jumlah kelas menengah di Indonesia yang terus menyusut.
Menurut data BPS, jumlah kelas menengah pada 2019 mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa menjadi 47,85 juta orang atau setara 17,13%.
Baca Juga: Menurut Survei, 70% Gen Z Minta Bantuan Orang Tua Agar Dapat Keja
Namun, berlainan dengan data jumlah kelas menengah yang anjlok, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22% dari total penduduk.
Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56% menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas kedua kelompok itu.