Teras Merdeka – Anggaran pendidikan di Indonesia menembus Rp 612,2 triliun pada 2023. Jumlah ini setara dengan 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Meskipun begitu, output dari pendidikan di Indonesia masih terus dipertanyakan.
Sebagaimana amanat UUD 1945 dan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN.
Diketahui, kebijakan tersebut sudah dimulai sejak 2009. Dari waktu itu, pemerintah telah melakukan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN.
Anggaran pendidikan pun akhirnya membengkak hingga 182 persen dari Rp 216,72 triliun pada 2010 menjadi Rp 612,2 triliun pada 2022.
Namun, mandatory spending sebesar 20 persen dari APBN tersebut belum berdampak maksimal kepada output pendidikan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa skor PISA (Programme for International Student Assessment/PISA) Indonesia di urutan ke 74 atau peringkat keenam dari bawah pada 2018.
Sementara itu, kemampuan membaca siswa Indonesia di skor 371 berada di posisi 74. Kemudian kemampuan Matematika mendapat 379 berada di posisi 73, dan kemampuan sains dengan skor 396 berada di posisi 71.
Menurut hasil studi PISA 2018 dari OECD juga menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih skor rata-rata yakni 371. Skor ini berada di bawah rata-rata skor OECD yakni 487.
Tragisnya, skor tersebut terus menurun dari 402 pada 2009. Skor rata-rata matematika mencapai 379 dengan skor rata-rata OECD 487. Skor sains rata-rata siswa Indonesia mencapai 389 sementara skor rata-rata OECD yakni 489.
Kualitas SDM Pendidikan Indonesia
Rendahnya skor yang diperoleh dalam versi tersebut mencerminkan bahwa Indonesia masih memiliki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbilang rendah.
Adapun cara yang digunakan untuk mengukur kualitas SDM ialah tingkat daya saing.
World Competitiveness Yearbook (WCY) pada 2020 menempatkan daya saing SDM Indonesia pada peringkat 40 dari 63 negara dalam hasil survei mereka. Di mana Indonesia turun delapan peringkat dari tahun sebelumnya.
Bahkan, Bank Dunia juga menghitung Human Capital Index (HCI) untuk melihat sejauh mana peran pendidikan dan kesehatan terhadap produktivitas ke depannya.
Pada tahun 2020, HCI Indonesia sebesar 0,54, berada pada peringkat 96 dari 175 negara.
Semakin menyedihkan ketika 60,60 persen ruang kelas SD di Indonesia tercatat dalam kondisi rusak ringan atau sedang pada tahun ajaran 2021/2022. Angka tersebut lebih tinggi 3,47 persen poin dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar 57,13 persen.
Diketahui, angka tersebut juga lebih tinggi 3,47 persen poin dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar 57,13 persen.
Kemudian di jenjang SMP, ruang kelas yang mengalami rusak ringan atau sedang sebesar 53,30 persen. Persentase ini lebih tinggi 2,74 persen poin dibandingkan pada tahun ajaran 2020/2021 yakni di angka 50,56 persen.
Dari data-data tersebut, secara tidak langsung menunjukkan bahwa perkembangan kualitas SDM Indonesia terhitung lambat, meskipun pemerintah sudah menaikkan anggaran pendidikan yang begitu signifikan.