Teras Merdeka – Warga internet tanah air tengah diramaikan dengan perbincangan istilah ‘Brain Drain’. Istilah ini muncul seiring dengan ramainya tagar #KaburAjaDulu.
Tagar #KaburAjaDulu banyak digunakan warganet yang membahas peluang pindah dan hidup di luar negeri.
Tagar tersebut menjadi respons rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap perintah atas kondisi yang terjadi saat ini di Indonesia. Sebut saja upah rendah, terbatasnya kesempatan kerja, hingga ketidakpastian politik dan ekonomi saat ini.
Meski terlihat sebagai tren sesaat, namun fenomena ini mencerminkan realitas yang lebih besar bernama brain drain.
Baca Juga: Sebut Dunia Makin Suram, Godfather AI Peringatkan Bahaya DeepSeek
Apa itu Brain Drain?
Mengutip laman Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), secara sederhana, brain drain merupakan fenomena hengkangnya kaum intelektual dari negerinya sendiri dan memilih menetap di negeri orang.
Minimnya peluang dan keterbatasan kesempatan di negara asal jadi salah satu alasan yang paling utama. Tapi di luar itu, ada juga alasan lain yang ikut melatarbelakangi seseorang memilih untuk tinggal di negeri orang. Bisa jadi alasan politik, ekonomi, hingga pilihan hidup secara personal.
Dalam kadar tertentu, brain drain disebut bisa jadi ancaman yang merugikan negara. Pasalnya, ada potensi aset sumber daya manusia (SDM) terbaik yang hilang.
Brain drain banyak dialami oleh negara berkembang, seperti Indonesia. Meski tidak secara massal, tapi pada tahun 1960-an banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri yang memilih tidak pulang ke Tanah Air.
Hal yang hampir sama juga terjadi pada tahun 1980-an, saat BJ Habibie, Menteri Riset dan Teknologi kala itu, mengirim ratusan remaja potensial untuk belajar ke luar negeri. Banyak dari mereka yang tak langsung pulang ke Indonesia dan memilih menetap di negeri orang.
Namun, kini fenomena brain drain tak sekadar diaspora Indonesia yang berstatus ilmuwan, tapi juga mereka yang memilih atas kesadarannya sendiri untuk berkarier di luar negeri.