Teras Merdeka – Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol membuat kehebohan pada Selasa (03/12/2024) malam, ketika tiba-tiba mengumumkan darurat militer di Korsel untuk pertama kalinya dalam hampir 50 tahun.
Keputusan drastis Yoon Suk-yeol yang diumumkan melalui siaran televisi pada pukul 23.00 waktu setempat (21.00 WIB) itu menyebutkan terdapat “kekuatan anti-negara” dan ancaman dari Korea Utara.
Namun belakangan terungkap bahwa keputusan itu tidak didorong oleh ancaman eksternal tetapi oleh situasi politik internal.
Keputusan Yoon sontak mendorong ribuan orang untuk berkumpul di depan parlemen sebagai bentuk protes, sementara anggota parlemen dari kubu oposisi bergegas ke gedung tersebut guna mendorong pemungutan suara darurat demi mencabut keputusan presiden.
Kemudian, beberapa jam kemudian Yoon mencabut perintah darurat militer.
Keputusan Presiden Yoon terkait darurat militer itu memicu kemarahan politisi dan warga Korsel.
Para anggota parlemen oposisi Korea Selatan juga telah memulai proses pemakzulan terhadap Presiden Yoon Suk Yeol atas upayanya dalam memberlakukan darurat militer.
Sejumlah warga Korsel bahkan turun ke jalan guna menyerukan pemakzulan serta penangkapan sang presiden.
Mengapa Presiden Korsel Mengumumkan Darurat Militer?
Para pengamat mengatakan bahwa Presiden Yoon telah bertindak seperti presiden yang sedang terpojok.
Dalam pidatonya pada Selasa (03/12/2024) malam, Yoon memaparkan upaya oposisi untuk melemahkan pemerintahannya. Dia kemudian mengatakan bahwa dirinya mengumumkan darurat militer untuk “menghancurkan kekuatan anti-negara yang telah menimbulkan kekacauan”.
Dekrit darurat militer yang diumumkan Yoon untuk sementara menempatkan militer sebagai penanggung jawab pemerintahan. Dalam waktu singkat, sejumlah serdadu dan polisi dikerahkan ke gedung parlemen. Sejumlah helikopter bahkan terlihat mendarat di atap gedung tersebut.
Media lokal juga menampilkan tayangan pasukan bertopeng dan bersenjata memasuki gedung parlemen, sementara staf gedung mencoba menahan mereka dengan alat pemadam kebakaran.
Sekitar pukul 23.00 waktu setempat (21.00 WIB), militer Korsel mengeluarkan aturan larangan protes dan aktivitas oleh parlemen serta kelompok politik, sekaligus menempatkan media di bawah kendali pemerintah.
Namun, politisi Korea Selatan segera menyebut dekrit darurat militer yang dikeluarkan Yoon ilegal dan inkonstitusional. Pemimpin partainya sendiri, Partai Kekuatan Rakyat yang konservatif, juga menyebut tindakan Yoon sebagai “langkah yang salah”.
Sementara itu, Lee Jae-myung selaku pemimpin Partai Demokrat yang merupakan partai oposisi terbesar di negara itu, meminta anggota parlemen dari partainya untuk berkumpul di parlemen guna menolak deklarasi tersebut.
Ia juga meminta warga sipil Korea Selatan untuk hadir di parlemen sebagai bentuk protes.
“Tank, kendaraan lapis baja, serta tentara yang dilengkapi senjata api dan pisau akan menguasai negara ini… Para warga negara sekalian, silakan datang ke Majelis Nasional,” seru Lee Jae-myung, dikutip dari Reuters, Kamis (5/12/2024).
Ribuan orang mematuhi seruan itu. Mereka bergegas berkumpul di luar gedung parlemen yang dijaga ketat. Para pengunjuk rasa meneriakkan: “Tidak ada darurat militer!” dan “hancurkan kediktatoran”.
Media lokal yang menyiarkan dari lokasi itu memperlihatkan ketegangan antara pengunjuk rasa dan polisi di gerbang gedung parlemen. Namun, ketegangan tidak meningkat menjadi aksi kekerasan.
Para anggota parlemen kemudian melewati barikade—bahkan memanjat pagar untuk mencapai ruang tempat pemungutan suara.
Sesaat setelah pukul 01.00 dini hari pada Rabu (04/12/2024) atau pukul 23.00 WIB Selasa (03/12/2024), sebanyak 190 dari 300 anggota parlemen menolak darurat militer. Dekrit darurat militer Presiden Yoon dinyatakan tidak sah.

Apa Itu Darurat Militer?
Darurat militer adalah ketika militer menjadi penanggung jawab pemerintahan untuk sementara, tatkala otoritas sipil dianggap tidak dapat berfungsi.
Terakhir kali darurat militer dideklarasikan di Korea Selatan adalah pada 1979, ketika diktator militer Park Chung-hee dibunuh dalam sebuah kudeta.
Darurat militer tidak pernah diberlakukan lagi sejak Korsel menjadi negara demokrasi parlementer pada 1987.
Di bawah darurat militer, kekuasaan diberikan kepada militer dan sering kali ada penangguhan hak-hak sipil bagi warga negara. Hal-hal mendasar pada supremasi hukum pun turut ditangguhkan, seperti larangan protes dan larangan aktivitas terhadap anggota parlemen serta kelompok politik.
Meskipun militer mengumumkan pembatasan terhadap aktivitas politik dan media, para pengunjuk rasa dan politisi menentang perintah tersebut.
Kemudian tidak ada tanda-tanda pemerintah mengambil alih kendali media nasional, seperti kantor berita Yonhap, dan media lainnya.
Apa yang Menyebabkan Presiden Yoon Merasa Terpojok?
Yoon terpilih sebagai presiden pada Mei 2022. Namun, dia menjadi presiden yang tidak berdaya sejak April ketika kubu oposisi menang telak dalam pemilihan umum negara itu.
Sejak saat itu, dikutip dari BBC, pemerintahannya tidak dapat meloloskan RUU yang mereka inginkan dan malah terpaksa memveto RUU yang disahkan oleh oposisi liberal.
Ia juga mengalami penurunan tingkat popularitas (sekitar 17%) karena terjerumus dalam beberapa skandal korupsi tahun ini. Salah satu skandal melibatkan Ibu Negara yang menerima tas Dior dan seputar manipulasi saham.
Bulan lalu, Presiden Yoon dipaksa untuk mengeluarkan permintaan maaf di stasiun televisi nasional serta mengaku dirinya telah membentuk satuan tugas yang mengawasi kinerja Ibu Negara. Namun, ia menolak penyelidikan yang lebih luas, sebagaimana diminta oleh partai-partai oposisi.
Kemudian pekan ini, oposisi mengusulkan RUU pemotongan anggaran pemerintah secara besar-besaran dan tidak dapat diveto.
Pada saat yang sama, pihak oposisi juga bergerak untuk memakzulkan anggota kabinet dan beberapa jaksa tinggi (termasuk kepala badan audit pemerintah) karena gagal menyelidiki Ibu Negara.
Kemudian pada Selasa (03/12/2024), Presiden Yoon menyampaikan dalam pidato nasional bahwa ia berusaha menyelamatkan Korea Selatan dari “kekuatan anti-negara”.
Presiden Yoon bahkan menyebut kubu oposisi sebagai simpatisan Korea Utara, tanpa memberikan bukti.

Reaksi Warga Sipil
Sejumlah warga Korea Selatan merasa cemas ketika mendengar bahwa Presiden Yoon mengumumkan darurat militer.
Mengutip dari BBC, seorang warga Seoul bernama Ra Ji-soo melaporkan mendengar helikopter di dekat rumahnya pada Selasa (03/12/2024) malam.
Ia mengatakan kepada BBC bahwa rasanya seperti “kudeta di Myanmar sedang terjadi di Korea. Saya khawatir.”
Ia juga mengatakan seorang teman di kepolisian telah menerima perintah mobilisasi darurat dan bergegas ke kantor polisi.
Tayangan televisi menunjukkan polisi dalam jumlah besar dikerahkan di luar gedung parlemen di Distrik Yeongdeungpo di Seoul. Bentrokan sempat terjadi antara polisi dan pengunjuk rasa di luar gedung tersebut
Mengutip media yang sama, seorang perempuan Korea Selatan, yang tidak mau identitasnya diungkap karena faktor keamanan, mengatakan bahwa dia merasa Presiden Yoon “berusaha membatasi kebebasan dan hak setiap orang untuk mengungkapkan kekhawatiran dan penilaian mereka terhadap pemerintah”.
“Saya sangat takut Korea Selatan akan berubah menjadi Korea Utara lainnya,” tambahnya.
Warga Seoul lainnya, Kim Mi-rim, mengatakan kepada BBC bahwa dia buru-buru mengemas perlengkapan darurat karena khawatir situasinya akan memburuk. Dia mengingat darurat militer puluhan tahun lalu yang menyebabkan sejumlah orang ditangkap dan dipenjara.
Namun, kelegaan mengemuka beberapa jam kemudian setelah dekrit darurat militer dicabut.
Menurut laporan dari AFP, pencabutan itu disambut dengan sorak-sorai dari para pengunjuk rasa yang berkumpul di tengah suhu beku. Para warga berteriak, “Kami menang!”

Nasib Presiden Yoon Sekarang
Partai Demokrat selaku partai oposisi utama Korea Selatan telah mengajukan mosi pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol. Partai itu mengecam deklarasi darurat militer awal Yoon sebagai “sikap pemberontakan”.
Dikutip dari Reuters, Parlemen Korsel akan menentukan soal pemakzulan Yoon paling lambat pada Sabtu (07/12/2024).
“Kita tidak bisa lagi membiarkan demokrasi runtuh. Kehidupan dan keselamatan rakyat harus dilindungi,” kata Kim Yong-jin, anggota komite pusat Partai Demokrat.
Partai tersebut juga mengatakan ingin mendakwa Yoon dengan “kejahatan pemberontakan”.
Mereka menyebut Menteri Kim Yong-hyun dan Menteri Dalam Negeri Lee Sang-min sebagai “peserta utama” deklarasi darurat militer sehingga keduanya mesti didakwa bersama Presiden Yoon.
“Tangkap Yoon Suk-yeol,” pekik sejumlah warga yang turun ke jalan, mengutip laporan Reuters.
Bahkan, kelompok buruh terbesar Korea Selatan bertekad melakukan mogok kerja tanpa batas waktu sampai Presiden Yoon mengundurkan diri.
Proses Pemakzulan di Korea Selatan
Setelah mosi pemakzulan diajukan, dua pertiga dari 300 anggota Majelis Nasional Korea Selatan harus memberikan suara untuk menentukan pemakzulan. Artinya, pemakzulan bisa terjadi jika disetujui oleh setidaknya 200 anggota parlemen.
Adapun pemungutan suara harus dilakukan dalam waktu 72 jam.
Setelah pemakzulan disetujui, presiden akan segera diberhentikan dari jabatannya, sementara perdana menteri menjadi penjabat presiden.
Mahkamah Konstitusi yang beranggotakan sembilan orang hakim kemudian akan menggelar sidang.
Jika enam hakim menyetujui pemakzulan, presiden akan dicopot dari jabatannya.

Presiden Korsel yang Pernah Dimakzulkan
Pada tahun 2016, Park Guen-hye dimakzulkan dari jabatan presiden setelah ia didakwa melakukan penyuapan, penyalahgunaan kekuasaan negara, dan membocorkan rahasia negara.
Sementara itu pada tahun 2004, Roh Moo-hyun dimakzulkan dan diberhentikan sementara dari jabatan presiden selama dua bulan. Mahkamah Konstitusi kemudian mengembalikan jabatannya.
Jika Presiden Yoon mengundurkan diri atau dimakzulkan, pemerintah harus mengadakan pemilihan umum dalam waktu 60 hari agar negara tersebut dapat memilih pemimpin barunya.
Masa jabatan sosok pemimpin baru itu akan berlangsung selama lima tahun.