Sementara itu, kelompok miskin juga mengalami kenaikan tipis dari 2019 sebanyak 25,14 juta orang atau setara 9,41% menjadi 25,22 juta orang atau setara 9,03% pada 2024.
Sedangkan kelompok atas juga naik tipis dari 2019 sebanyak 1,02 juta orang atau 0,38% menjadi 1,07 juta orang atau 0,38% dari total penduduk pada 2024.
Raden Pardede menjelaskan, bila jumlah kelas menengah terus dibiarkan menyusut, maka tidak ada harapan bagi sebuah negara untuk bisa menikmati laju pertumbuhan ekonomi yang kencang. Sebab, mereka merupakan kelas yang seharusnya kuat dalam konsumsinya, tanpa harus makan tabungan.
“Kembali, seperti yang saya katakan tadi, kelas menengah itulah sebetulnya tenaga dalam atau energi yang sangat besar sekali yang kita punya, kalau mereka sangat kuat sekali maka daya beli mereka dengan jumlah yang besar itu akan menggerakkan motor perekonomian Indonesia ke depan,” ucap Raden.
Baca Juga: 6 Pekerjan Ini Terancam Punah, Tergantikan oleh AI
Raden menekankan, keharusan pemerintah untuk menjaga daya beli kelas menengah melalui pengaturan pendapatan yang terjamin dan lapangan kerja yang luas saat ini sangat dibutuhkan. Terutama karena sumber pertumbuhan ekonomi lainnya, seperti ekspor sangat terkait dengan kondisi stabilitas global.
“Kalau kelas menengahnya tidak kuat, maka seperti yang saya katakan tadi, kita tergantung kepada ekspor padahal situasi dunia sekarang ini kelihatannya perekonomian dunia 10 tahun terakhir ini masih lebih buruk dibandingkan dengan keadaan dunia 10 tahun sebelumnya,” ujar Raden.
Pemerintah sebelumnya juga telah menyatakan akan kembali fokus menyehatkan konsumsi atau daya beli masyarakat untuk menghadapi terus ambruknya angka Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia tersebut.