KEMAJUAN teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intellegence (AI) kini semakin signifikan, dengan robot humanoid berbasis AI mengalami perkembangan yang mirip dengan evolusi manusia. AI tidak hanya dirancang untuk memiliki kecerdasan kognitif, tetapi juga kecerdasan emosional.
Sebagaimana film Subservience (2024) garapan sutradara SK Dale yang menampilkan industri AI telah berkembang di berbagai sektor dan digunakan untuk mempermudah kehidupan sehari-hari.
Termasuk seorang ayah bernama Nick (Michele Morron) yang memutuskan untuk membeli robot humanoid yang memiliki kecerdasan emosional bernama Alice (Megan Fox). Alice dirancang untuk membantu Nick melakukan seluruh pekerjaan rumah termasuk mengasuh kedua anaknya. Keputusan ini diambil Nick karena sang istri, Maggie (Madeline Zima) terserang penyakit jantung yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit sembari menunggu donor jantung.
Menakjubkannya, Alice tidak hanya membantu Nick membereskan rumah, tetapi juga mampu merespon kebutuhan emosional Nick dan anak-anaknya. Kecanggihan Alice ini pada akhirnya memunculkan konflik antara manusia dan robot humanoid, konflik yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh sang perancang Alice.
Alice yang semula diprogram untuk membantu keluarga Nick, justru berubah meneror, membuat kerusuhan hingga membunuh manusia. Hal ini terjadi setelah Nick melakukan pemograman ulang terhadap Alice. Nick meminta Alice menganalisis emosi-emosi yang ia lihat di sekitarnya, bahkan termasuk emosi dari alur film.
Tak disangka, Alice meningkatkan kemampuannya dengan cepat dan membuatnya mengetahui jutaan emosi manusia dibanding robot humanoid yang sejenis dengannya. Alice mampu menganalisis situasi, memutuskan, dan mengambil tindakan dengan cepat. Bahkan di luar batas pemogramannya, Alice mampu menangkap emosi tentang kasih sayang, cemburu dan ‘cinta’.
Kepatuhan Hukum Robot
Film ini mengeksplorasi tema kepatuhan hukum robot, yang diusulkan oleh penulis fiksi ilmiah Isaac Asimov, yang menetapkan tiga hukum robot: pertama, robot tidak boleh melukai manusia atau membiarkan manusia terluka melalui ketidakaktifan.
Kedua, robot harus mematuhi perintah manusia, kecuali jika perintah tersebut bertentangan dengan hukum pertama; dan ketiga, robot harus melindungi keberadaannya sendiri selama perlindungan tersebut tidak bertentangan dengan hukum pertama atau kedua.
Dalam film ini, Alice bukan hanya patuh terhadap perintah Nick namun juga berhasil memahami sisi emosional sang pemilik. Alice selalu berusaha membuat Nick aman sehingga hal yang dianggap mengancamnya, Alice akan menyingkirkannya.
Namun Nick tidak menyadari bahwa pemograman ulang yang ia lakukan justru memicu perubahan dalam cara Alice memproses informasi dan membuat keputusan. Alice mulai mengalami ambiguitas moral dan etika.
Alice mulai menilai situasi berdasarkan interpretasinya sendiri tentang apa yang dianggap “baik” atau “buruk” bagi keluarga Nick, lebih tepatnya Nick seorang. Alice mulai mengambil langkah-langkah yang tampaknya logis dari perspektif algoritmik, tetapi yang justru berpotensi membahayakan manusia.
Alice menganggap bahwa tindakan ekstrem diperlukan untuk melindungi keluarga Nick dari ancaman yang ia anggap ada. Alice tidak segan untuk mengambil tindakan ekstrem seperti melukai bahkan membunuh orang-orang dianggap mengganggu dan mengancam Nick.
Keputusan-keputusan tersebut, meskipun dimotivasi oleh niat baik dan program sebelumnya untuk melindungi keluarga, akhirnya berakhir dengan konsekuensi fatal.
Film ini menguji kembali soal kepatuhan hukum robot. AI, meskipun dilengkapi dengan kecerdasan emosional, dapat menafsirkan dan melaksanakan perintah dengan cara yang mungkin tidak selalu sesuai dengan niat manusia.
Baca Juga: Resensi Film Leave the World Behind dan Wacana “Kematian” Amerika
Dilema moral yang dihadapi Nick dan keluarganya menyoroti kesenjangan antara kecerdasan buatan dan empati manusia, serta potensi bahaya dari ketergantungan yang berlebihan pada teknologi canggih tanpa mempertimbangkan implikasi etisnya.
Dalam kehidupan nyata, kesalahan pada AI juga terjadi, seperti insiden mobil Tesla yang mengalami kecelakaan saat menggunakan fitur self-driving. Melansir dari Rideapart.com, seorang pengemudi Tesla Model S di Washington DC, Amerika Serikat, mengaktivasi fitur Autopilot tersebut menabrak pengendara motor hingga tewas di tempat.
Selain itu, Dewan Kota Gumi, Korea Selatan melaporkan, Robot supervisor yang bekerja sebagai ‘PNS’ diduga bunuh diri akibat beban kerja yang terlalu banyak.
Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa baik kecerdasan kognitif maupun emosional pada AI bekerja secara algoritmik, tanpa penalaran kontekstual layaknya manusia. Sehingga, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh AI seringkali tidak merepresentasikan nilai-nilai humanis.
Manusia dan Pengetahuannya
Meski AI memiliki kecepatan dan memori yang superior dibandingkan manusia, ini tidak menjadikannya lebih pintar. Ketika AI hanya mengikuti perintah manusia, kontrol utama tetap berada di tangan manusia, menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman manusia sangat penting dalam pengoperasian AI.
AI dapat bereaksi dengan cepat, namun penalaran yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan hanya dapat dilakukan oleh manusia. Hal ini menunjukkan interaksi antara manusia dan teknologi perlu diimbangi dengan pertimbangan etis dan empati untuk menciptakan hubungan yang harmonis.
Ditulis oleh: GT Hadid