Teras Merdeka – Peneliti di Ulf Buntgen dari University of Cambridge melakukan studi untuk mengukur suhu bumi dalam waktu 2.000 tahun terakhir. Ditemukan bahwa melalui batang pohon, manusia dapat mengetahui kapan bumi akan musnah.
Sebagaimana yang sudah terjadi, pemanasana global semakin parah. Bahkan dikatakan sebagai jembatan menuju ‘kiamat’.
Lalu bagaimana batang pohon dapat menentukan umur bumi?
Pada penelitian yang dilakukan tersebut, para peneliti menggunakan analisis dari atas lingkar pohon, berupa garis seperti cincin dari potongan batang pohon.
Hasilnya, tahun 2023 lalu menjadi periode terpanas setidaknya dalam 2.000 tahun terakhir. Bahkan, tren pemanasan global itu dikatakan akan terus berlajut.
“Melihat sejarah dengan sangat panjang, Anda bisa lihat betapa luar biasanya pemanasan global di periode sekarang. 2023 adalah tahun yang sangat panas, tren ini akan terus berlanjut jika gas rumah kaca tidak dikurangi secara besar-besaran,” kata Buntgen, dikutip CNBC Indonesia (17/9/2024).
IFL Science menuliskan besar lingkar pohon akan menggambarkan kondisi lingkungan yang dialami pohon pada periode tertentu. Misalnya pada area dengan sumber air berlimpah akan memperlihatkan perbedaan suhu satu tahun dengan tahun lainnya dengan lebih jelas.
Hasil analisa penelitian ini menunjukkan beberapa periode ekstrem dalam 2.000 terakhir. Misalnya cuaca paling dingin terjadi pada tahun 536, dengan suhu musim panas menunjukkan 3,93 derajat celcius lebih rendah dari tahun lalu.
Kemudian, kenaikan temperatur awal revolusi industri juga jauh lebih rendah dari sekarang. Musim panas 2023 menunjukkan lebih panas 2,07 derajat celcius dibandingkan 1850 dan 1900.
Dari data tersebut membuat target kenaikan suhu yang ditetapkan Perjanjian Paris 2015 dan pengukuran keparahan menjadi tidak tepat.
Perjanjian Paris menetapkan 2023 lebih panas 1,52 derajat celcius dari 1850-1900, namun Buntgen dan timnya menemukan jauh lebih tinggi mencapai 2,2 derajat celcius.
“Betul iklim selalu berubah, tetapi pemanasan pada 2023, yang disebabkan oleh gas rumah kaca dan diperparah oleh El Nino, menyebabkan gelombang panas dan periode kekeringan yang lebih panjang. Ini menunjukkan sangat penting untuk segera mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Jan Esper dari Johannes Gutenberg University Mainz.