Teras Merdeka – Setelah terjadi penemuan 109 mayat yang tewas akibat kelaparan karena menganut sekte sesat, dua pendeta dari kelompok tersebut akan diadili hari ini, Selasa (2/5/2023).
Ratusan mayat tersebut diduga mati kelaparan akibat indoktrinasi dari pamah sekte sesat yang diajarkan.
Dua pendeta pemimpin sekte sesat di Kenya akan diadili pada hari ini, Selasa (2/5), usai 109 pengikut mereka ditemukan tewas di hutan, diduga mati kelaparan akibat indoktrinasi.
AFP melaporkan, kedua pemimpin sekte tersebut yaitu Paul Mackenzie Nthenge dan Ezekiel Odero. Nthenge akan diseret ke meja hijau di Malindi, sementara Odero bakal menghadapi dakwaan di Mombasa.
Nthenge akan diadili usai pengikutnya diduga mati kelaparan di hutan Shakahola. Pendiri Good News International Church itu mendoktrin pengikutnya bahwa kelaparan merupakan satu-satunya jalan untuk bertemu Yesus.
Sampai saat ini, kepolisian Kenya sudah menemukan 109 jasad. Dari jasad yang ditemukan, kebanyakan merupakan anak-anak yang diketahui dari penggalian 30 kuburan massal di hutan Shakahola.
Sementara itu, jumlah korban diduga lebih banyak dari yang sudah ditemukan.
Nthenge akan diadili terkait sejumlah dakwaan, termasuk pembunuhan, penculikan, hingga kekejaman terhadap anak-anak.
Sementara itu, Odero juga akan menjalani persidangan di Kota Mombasa. Ia ditahan pada pekan lalu karena sejumlah informasi yang menyebutkan korban yang ditemukan di belantara Shakahola juga merupakan pengikut gereja Odero, New Life Prayer Central and Church.
Berdasarkan dokumen pengadilan, Odero dan Nthenge memiliki rekam jejak “sejarah investasi bisnis” bersama. Termasuk televisi yang digunakan untuk menyebarkan “pesan-pesan radikalisasi” kepada para pengikutnya.
Menjamurnya Sekte Sesat di Kenya
Tragedi yang disebut-sebut sebagai “pembantaian Shakahola” ini dianggap menjadi pembuka tabir kekelaman di Kenya akibat sekte sesat yang kian menjamur beberapa terakhir.
Berdasarkan data pemerintah, lebih dari 4.000 gereja berdiri di Kenya dengan jemaat sekitar 50 juta jiwa.
Dari ribuan gereja tersebut, beberapa di antaranya dianggap sesat.
Layaknya gereja sesat di sejumlah negara lain, beberapa aliran di Kenya juga memeras para jemaatnya untuk berdonasi dengan nilai selangit.
Sebagian lainnya memang tak menguras kantong para pengikut. Akan tetapi membawa dampak lebih mematikan, seperti gereja yang dipimpin Nthenge.
Merujuk pada pengamatan profesor agama di Universitas Nairobi, Stephen Akaranga, kebanyakan sekte itu tumbuh subur di daerah pinggiran. Di mana orang hanya punya informasi sedikit mengenai sekolah.
Selain itu, Kenya menjadi ladang subur sekte sesat karena berbagai masalah yang bercampur menjadi satu di tengah masyarakat.
Aparat Kenya sebenarnya tahu betul bahaya sekte-sekte sesat ini. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak. Dikarenakan gereja-gereja itu seringkali memanfaatkan celah dalam sistem hukum di Kenya, yaitu kebebasan beragama.
Namun, tragedi temuan jasad korban di Shakahola ini dianggap sudah di luar batas dan keterlaluan.
Presiden Kenya, William Ruto turut menyerukan pemberantasan gerakan-gerakan keagamaan yang “tak dapat diterima.” Ruto menganggap para pemimpin sekte itu sebagai teroris.
Kemudian, Menteri Dalam Negeri Kenya, Kithure Kindiki juga melontarkan pernyataan serupa
“Yang terjadi di Shakahola merupakan titik balik bagaimana Kenya menangani ancaman keamanan serius dari ekstremis keagamaan,” tegas Kindiki.