Teras Merdeka – Rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu terus ditindaklanjuti. Kali ini, Presiden Joko Widodo telah melakukan rapat internal dengan sejumlah menteri yang berkaitan dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan, Jokowi akan meluncurkan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara nonyudisial pada bulan Juni 2023.
“Ini akan dilakukan di Aceh atau dipusatkan di Aceh pada bulan Juni. Tanggalnya masih akan ditentukan,” ungkap Mahfud di Istana Kepresidenan, Jakarta, dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (2/5/2023).
Mahfud menyebutkan, acara akan dilakukan di tiga titik. Di antaranya yakni Simpang Tiga, Rumoh Geudong dan Pos Sattis, serta Jambu Kepuk.
Meskipun begitu, ia belum membeberkan detail bentuk penyelesaiannya seperti apa.
“Mungkin bentuknya adalah taman belajar atau living park tentang hak asasi. Ini semua masih akan dibicarakan dalam waktu dekat. Saya kira ini pengumuman dari pemerintah pada saat ini dan 19 pejabat setingkat menteri dan kepala lembaga ini akan segera melakukan langkah koordinasi percepatan,” jelas Mahfud.
Pada acara peluncuran tersebut, pemerintah juga akan mengumumkan kepada warga negara di luar negeri yang menjadi korban pelanggaran HAM berat.
Berdasarkan catatan, ada 39 orang yang masih berada di luar negeri saat ini akibat pelanggaran HAM di masa lalu.
“Nanti kita akan cek satu per satu, meskipun mereka memang tidak mau pulang tapi mereka ini akan kita nyatakan sebagai warga negara yang tidak pernah mengkhianati negara. Karena untuk pengkhianatan terhadap negara itu sudah selesai di pengadilan, sudah selesai di era reformasi di mana screening dan sebagainya dihapus. Kemudian semua warga negara diberi hak yang sama di depan hukum dan pemerintah,” jelasnya.
“Saya ingin beri contoh presiden Habibie ini adalah salah satu korban peristiwa tahun 1965, beliau bersekolah di Jerman, tahun 1963 lulus master lalu melanjutkan doktor. Lulus doktor akhir tahun 65 terjadi peristiwa G30S PKI. Beliau termasuk orang yang semula tidak boleh pulang, tapi pada tahun 1974 bertemu dengan Presiden Soeharto,” imbuh Mahfud.
Selain itu, Mahfud menegaskan, dalam pelaksanaan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat masa lalu itu menitikberatkan pada korban.
“Ini ditekankan bahwa rekomendasi ini adalah menitikberatkan perhatiannya pada korban, bukan pada pelaku pelanggaran HAM Berat di masa lalu,” tegas Mahfud.
Menurut Mahfud, hal itu menyangkut penyelesaian yudisial yang harus diputuskan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama DPR RI yang selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah.
Tak hanya itu, ia mengatakan bahwa pemerintah dalam rekomendasi penyelesaian nonyudisial itu juga tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat atas peristiwa itu.
Akan tetapi, pemerintah mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali atas kejadian tersebut.
“Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu, yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 66 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak diubah,” paparnya.
“Kemudian mengenai peristiwa yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku. Yang kita lakukan ini adalah fokus pada korban pelanggaran HAM Berat berdasar temuan Komnas HAM. Ada 12 peristiwa,” lanjut Mahfud.