Teras Merdeka – Situasi di Yerusalem hingga saat ini masih terus memanas. Terlebih atas apa yang terjadi pada Rabu (5/4/2023) lalu ketika polisi Israel menyerang jemaah di Masjid Al Aqsa pada malam hari.
Di waktu menjelang subuh, polisi Israel mengklaim melakukan penyerangan di masjid Al Aqsa untuk meringkus sejumlah pemuda berpenutup wajah yang dianggap sebagai penyusup dan provokator.
Insiden yang diwarnai aksi lempar petasan hingga batu oleh sejumlah provokator itu, berujung penangkapan kepada lebih dari 350 orang di wilayah Al Aqsa.
Sejumlah negara merespons terjadinya insiden ini. Termasuk rapat darurat yang digelar negara-negara Liga Arab dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa.
Perdana Menteri Otoritas Palestina, Mohammad Shtayyeh bahkan mengutuk insiden itu sebagai kejahatan besar terhadap jemaah.
Ia menekankan bahwa pelaksanaan salat di Masjid Al Aqsa merupakan hak warga Palestina.
“Al Aqsa adalah untuk Palestina dan semua orang Arab dan Muslim,” tegas Shtayyeh, dikutip dari Al Jazeera.
Selama bertahun-tahun, kompleks Masjid Al Aqsa memang sering menjadi titik bentrok antara tentara Israel dengan warga Palestina.
Tahun lalu, lebih dari 300 warga Palestina ditangkap. Di mana 170 orang di antaranya terluka saat pasukan Israel melancarkan serangan di kompleks tersebut, tepat di bulan Ramadan.
Lalu pada Mei 2021, pasukan Israel juga menyerbu kompleks Al Aqsa menggunakan gas air mata, peluru baja berlapis karet, dan granat kejut terhadap jemaah di bulan Ramadan.
Melansir Al Jazeera, Founder Palestine Land Society, Salman Abu Sitta mengatakan bahwa meningkatnya kekerasan di Al Aqsa secara berulang menjadi tanda bahwa Israel semakin berani mengambil alih kompleks Masjid Al Aqsa di Yerusalem.
Upaya warga Israel, yang sebagian besarnya adalah Yahudi, untuk masuk dan ‘menguasai’ Al Aqsa juga semakin terlihat jelas selama beberapa waktu terakhir.
Pada Maret 2022, aktivis Yahudi Raphael Morris nekat menorobos masuk untuk berdoa di dalam kompleks Masjid Al Aqsa dengan menyamar seperti orang Islam.
Pria 26 tahun itu mengganti pakaian Yahudi ortodoksnya dengan thobe, yakni pakaian tradisional yang banyak digunakan oleh pria Palestina. Tujuannya, agar ia bisa masuk ke kompleks Masjid Al Aqsa dan beribadah di sana.
Morris hanya satu contoh dari sekelompok orang Yahudi Israel sayap kanan, yang ingin melanggar larangan berdoa di kompleks Masjid Al Aqsa dengan menyamar sebagai orang Islam.
Berdasarkan status quo, hanya Muslim yang memiliki hak tunggal untuk beribadah di dalam kompleks Al Aqsa. Orang non-Muslim hanya diizinkan berkunjung ke kompleks tersebut.
Sementara orang Yahudi, diperbolehkan melakukan kegiatan keagamaan di Tembok Barat atau Tembok Ratapan, di bagian luar kompleks Al Aqsa.
Pada Januari lalu, Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, turut menyita perhatian lantaran mendatangi kompleks Al Aqsa.
Pada kunjungan itu, Ben-Gvir mengungkapkan pernyataan kontroversial. Ia mengajak orang-orang Yahudi datang ke Al Aqsa pada Hari Paskah, yang juga berbarengan dengan bulan suci Ramadan.
“Temple Mount (istilah kompleks Al Aqsa versi Yahudi) adalah tempat paling penting bagi orang Israel, dan kami menekankan kebebasan bagi Muslim dan Kristen,” ujar Ben-Gvir.
Lawatan itu menuai kecaman keras dari banyak pihak. Mulai dari milisi jalur Gaza, pemerintah Palestina, hingga pemerintah Yordania. Diplomat negara-negara Arab pun cemas dengan kunjungan itu dan memicu eskalasi konflik di Al Aqsa.
Pada saat yang sama, kelompok lain yakni Return to Temple Mount, juga mengadakan sayembara berhadiah uang tunai kepada orang Yahudi yang berani datang ke Masjid Al Aqsa untuk melakukan ritual agama dengan mengurbankan seekor kambing.
Melansir dari Middle East Eye, orang Yahudi religius melihat upaya penaklukan Temple Mount sebagai simbol besar. Di mana hal itu menjadi tanda akhir zaman, seperti yang dinubuatkan dalam kitab suci mereka.
Bagi mereka, Temple Mount menjadi situs tersuci dalam Yudaisme (agama Yahudi). Mereka meyakini pada zaman Romawi kuno, ada dua kuil yang menjadi pusat kerajaan Yahudi di situs tersebut.
Masjid Al Aqsa yang dibangun di era kejayaan Islam, diyakini kaum Yahudi berada di atas peninggalan kuil suci mereka.
Satu-satunya bagian yang tersisa dari The Second Temple, adalah Tembok Barat. Tembok itu yang disebut sebagai “Tembok Ratapan” dan menjadi tempat suci orang Yahudi untuk berdoa.
Oleh sebab itu, desakan warga Yahudi Israel bukan sekadar ingin beribadah di dalam Temple Mount, namun ada keharusan untuk membangun kembali Kuil Ketiga di situs tersebut, sebagai tanda turunnya Mesias dan Hari Penghakiman.
Meski muncul berbagai gerakan ‘nekat’ dari warga Israel untuk mengubah situasi di Al Aqsa, namun pemerintah Israel menegaskan akan tetap mempertahankan status quo.
“Israel berkomitmen untuk menjaga kebebasan dalam beribadah, akses bebas bagi semua agama, dan status quo untuk Temple Mount (Al Aqsa), serta tidak akan membiarkan kekerasan ekstremis mengubah ini,” kata PM Israel, Benjamin Netanyahu.