Teras Merdeka – Beberapa waktu terakhir, publik digegerkan dengan adanya temuan kasus dugaan tindak pidana kepabeanan terkait emas batangan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) senilai Rp 189 triliun. Berita tersebut menjadi gaduh lantaran tidak ada pernyataan yang memberikan kejelasan terhadap kasus tersebut, Jumat (7/4/2023).
Namun, baru-baru ini, Kementerian Keuangan akhirnya mengungkapkan kronologis dari terbukanya kasus tersebut.
Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu), Yustinus Prastowo secara khusus membuat thread atau utasan melalui akun Twitternya @prastow terkait kasus dugaan tindak pidana kepabeanan impor emas batangan di DJBC tersebut. Hal ini sekaligus merespon cuitan akun Twitter Partai Socmed, mengenai kasus yang sama.
Dalam cuitannya, Partai Socmed mengungkapkan bahwa kasus tindak pidana impor emas batangan itu seharusnya sangat sederhana dan mudah diungkap. Akan tetapi dibuat seolah menjadi rumit. Khususnya berdasarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh pejabat di Kemenkeu.
Yustinus akhirnya menjelaskan bahwa persoalan di DJBC tersebut bermula pada tahun 2016.
“Bagaimana sih latar belakang kasus emas Rp 189 T yang menjadi kontroversi ini? Saya bahas dalam #utas berikut,” tulisya dalam memulai cuitannya, dikutip Jumat (7/4/2023).
Melansir rangkungan yang diberitakan oleh CNN Indonesia (7/4/2023), Yustinus menjelaskan bahwa saat itu, KPU Bea Cukai Soekarno-Hatta (Soetta) melakukan penindakan atas eksplorasi emas melalui kargo yang dilakukan oleh PT. Q yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyidikan di bidang kepabeanan. Kemudian, PT Q melakukan submit dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dengan pemberitahuan sebagai Scrap Jewellery.
Meskipun begitu, petugas KPU BC Soetta mendeteksi adanya kejanggalan pada profil eksportir dan tampilan X-Ray. Sehingga diterbitkan Nota Hasil Intelijen (NHI) untuk mencegah pemuatan barang.
Selanjutnya, ketika dilakukan pemeriksaan terhadap barang ekspor itu, justru ditemukan emas batangan (ingot), alias tidak sesuai dengan dokumen PEB.
“Saat dilakukan pemeriksaan terhadap barang ekspor disaksikan oleh PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan) dan perusahaan security transporter (DEF), ditemukan emas batangan (ingot) alias tidak sesuai dokumen PEB. Bahkan seharusnya ada persetujuan ekspor dari Kemendag (Kementerian Perdagangan),” ungkap Yustinus.
Dari pemeriksaan yang dilakukan itu, ditemukan bahwa setiap kemasan disisipkan emas bentuk gelang dalam jumlah kecil untuk mengelabui x-ray. Sehingga seolah yang akan diekspor adalah perhiasan.
Sebelum adanya temuan itu pada 2016, pada 2015, Yustinus mengataka bahwa PT Q pernah mengajukan permohonan SKB (pembebasan) PPh Pasal 22 Impor (DPP senilai Rp 7 triliun) pada 2015. Namun ditolak oleh Ditjen Pajak. Dikarenakan wajib pajak tidak dapat memberikan data yang menunjukkan atas impor tersebut, menghasilkan emas perhiasan tujuan ekspor.
Sehingga hal tersebut, kata Yustinus, memang menjadi modus PT Q yang mengaku sebagai produsen Gold Jewelry tujuan ekspor. Hal itu untuk mendapat fasilitas tidak dipungut PPh Pasal 22 Impor emas batangan yang seharusnya 2,5 persen dari nilai impor. Aturan ini tertuang di dalam PMK No.107/PMK.010/2015 pasal 3.
“Sehingga jelas kenapa kegiatan ekspor disebut dalam klarifikasi kami. Karena ekspor-lah yang menjadi indikasi awal adanya tindak pidana di bidang kepabeanan oleh PT Q. Dan tentu penyidikan yang dilakukan menyeluruh hingga tahapan impor. Itulah duduk perkara secara kronologis,” terang Yustinus.
Penyidikan Kasus
Setelah dinyatakan penyidikan sudah lengkap atau P21, PT Q terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Namun, perkara tersebut tidak dinyatakan sebagai tindak pidana.
Sejalan dengan penanganan PT Q tersebut, Kementerian Keuangan dan PPATK bersinergi dengan pemeriksaan atas entitas PT Q oleh PPATK dan penelitian administrasi kepabeanan oleh DJBC serta penelitian administrasi perpajakan oleh DJP. Baru selanjutnya dilakukan penyelidikan dugaan TPPU.
Berdasarkan case PT. Q serta ditemukannya kesamaan modus, PPATK menyampaikan bahwa SR-205/PR.01/V/2020 kepada DJBC berisi IHP atas grup perusahaan yang bergerak di bidang emas dengan total nilai transaksi keuangan (keluar-masuk) sebesar Rp 189,7 triliun.
DJBC kemudian menindaklanjuti SR tersebut. Salah satunya dengan analisis kepabeanan (ekspor-impor). Setelah itu, disimpulkan bahwa belum ditemukan adanya indikasi pelanggaran pidana di Bidang Kepabeanan.
“Mempertimbangkan tidak adanya unsur pidana kepabeanan & telah dilakukan penyidikan, serta divonis, namun kalah di tingkat Peninjauan Kembali (PK), maka dilakukan optimalisasi melalui tindak lanjut aspek perpajakan melalui surat PPATK nomor SR-595/PR.01/X/2020 yang disampaikan ke DJP,” terangnya.
Data SR tersebut kemudian dimanfaatkan oleh DJP untuk pemeriksaan bukti permulaan terhadap PT Q. Sehingga WP melakukan Pengungkapan Ketidakbenaran dan diperoleh pembayaran sebesar Rp 1,25 miliar, serta berhasil mencegah restitusi LB SPT Tahunan 2016 yang sebelumnya diajukan oleh PT Q sebesar Rp1,58 miliar.
Alhasil, Yustinus menegaskan, menjadi jelas bahwa Kemenkeu tidak mendiamkan apalagi menutup-nutupi data PPATK ke Menteri Keuangan.
“Semua dapat dijabarkan dengan akuntabel, transparan, bahkan digunakan untuk optimalisasi penerimaan. Termasuk mengenai impor akan kami bahas tuntas,” tegasnya.
Awal Mula Duduk Perkara
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md sebelumnya mengungkapkan nilai transaksi janggal senilai Rp 189 triliun tersebut diduga terkait tindak pidana pencucian uang dari cukai. Bahkan disebuit turut melibatkan 15 entitas.
Meskipun begitu, dalam laporannya, justru disebutkan terkait pajak. Sehingga PPATK melakukan penelitian ulang terhadap respons dari Kemenkeu itu.
“Adalah dugaan pencucian uang, cukai dengan 15 entitas, tapi apa laporannya? menjadi pajak, sehingga ketika diteliti oh iya ini perusahaannya banyak, hartanya banyak, pajaknya kurang, padahal ini cukai laporannya, apa itu? Emas,” kata Mahfud.
Mahfud menyebutkan, dugaan TPPU terkait cukai itu memanfaatkan komoditas emas batangan yang sudah jadi. Namun, laporan yang disebutkan para pegawai di sana adalah dalam bentuk emas mentah yang berasal dari Surabaya.
Kemusian ketika diperiksa PPATK, ternyata tidak ditemukan pabrik pengolah emas mentah.
“Katanya ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya. Ketika dicari di Surabaya nggak ada pabriknya dan itu menyangkut uang miliaran saudara, laporan itu diberikan sejak 2017 oleh PPATK bukan 2020,” ungkap Mahfud.
Sebagaimana diketahui, masalah ini turut menyeret nama mantan Dirjen Bea dan Cukai, Heru Pambudi yang kini menjabat sebagai Sekjen Kemenkeu.
Beberapa waktu lalu, Heru sempat menyampaikan klarifikasi atas namanya yang muncul dalam laporan Mahfud. Menurutnya, dirinya bisa terlibat dalam perkara komoditas emas sebagaimana karena posisinya yang mengepalai bea cuka dan harus hadir dalam rapat koordinasi dengan PPATK.
“Di 2017 ada rapat koordinasi dalam bentuk gelar perkara, saya hadir di situ dan ada absennya. Saya hadir bersama Ibu Sumiyati (eks-Irjen Kemenkeu) dan 2 orang lagi,” jelas Heru pada Jumat (31/3/2023).
Gelar perkara tersebut terkait dengan penguatan-penguatan yang perlu kita lakukan dalam komoditas emas ini. Baik impor maupun ekspor.
Ia menerangkan, dirinya hadir untuk mewakili bea dan cukai, Ibu Sumiyati yang saat itu menjadi Irjen Kemenkeu dan Direktur Penindakan dan Penyidikan Bea Cukai Bahaduri Wijayanta.
“Dalam rapat tersebut, PPATK bertindak sebagai tuan rumah. Kala itu, kita membahas data bersama soal komoditas emas, inglot. Rapat menyepakati pembentukan tim operasional,” ujarnya.
“Tim ini bisa turun sampai ke lapangan bersama, bisa terbuka tertutup, di bawah koordinasi PPPATK berjalan terus dan sudah dibubukan dalam Jaga Dara,” pungkasnya.