Teras Merdeka – Rencana redenominasi rupiah merupakan wacana pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sejak 2013 silam. Bahkan sudah tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang Redenominasi Mata Uang, Kamis (23/2/2023).
Namun, pada 2013, terjadi gejolak ekonomi dunia dan ada normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat. Sehingga rancangan aturan tersebut tertunda.
Lalu pada 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Gubernur Bank Indonesia (periode 2013-2018) Agus Martowardojo menemui langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka
Pertemuan itu untuk melaporkan RUU Redenominasi Mata Uang yang sudah siap untuk diusulkan kepada DPR.
Pemerintah dan BI menilai, ketika itu merupakan waktu yang tepat untuk mengusulkan RUU inisiatif terkait redenominasi mata uang. Terutama karena kondisi ekonomi dan politik Indonesia dalam keadaan baik dan stabil.
Pertumbuhan ekonomi sudah kembali ke atas 5 persen. Inflasi selama dua tahun terakhir juga terkendali pada kisaran 3 persen. Bahkan, cadangan devisa berada dalam kondisi yang kuat.
Meski begitu, Sri Mulyani memutuskan untuk tidak mengajukan RUU tentang Redenominasi Mata Uang ke dewan parlemen sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dikarenakan, memprioritaskan revisi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diusulkan ke DPR.
Setelah beberapa tahun tak ada kabar, rencana redenominasi rupiah kembali mengemukan di tengah penanganan pandemi COVID-19. Tepatnya pada 29 Juni 2020.
Kala itu, Kementerian Keuangan mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (redenominasi) masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024.
Usulan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024.
Menurut peraturan tersebut, urgensi RUU redenominasi ini di antaranya untuk efisiensi perekonomian. Selain itu juga menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi, dan pelaporan APBN.
“RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi). Urgensi pembentukan: Menimbulkan efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit Rupiah,” keterangan yang ditulis oleh Kemenkeu dalam PMK-nya, dikutip Kamis (23/3/2023).
Kemudian urgensi kedua yaitu menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit Rupiah.
Perubahan harga rupiah ini juga pernah dijelaskan lengkap dalam kajian Bank Indonesia (BI).
Di aman redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat.
Adapun sanering merupakan pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat. Di mana yang dipotong hanya nilai uangnya.
Redenominasi tersebut biasanya dilakukan di saat ekspektasi inflasi berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil.
Kemudian stabilitas perekonomian terjaga dan ada jaminan terhadap stabilitas harga. Termasuk adanya kebutuhan dan kesiapan masyarakat.
Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI), Marlison Hakim mengungkap redenominasi merupakan wilayah pemerintah. Dalam hal ini BI hanya mengikuti.
“Kami BI siap mengikuti keputusan oleh pemerintah dalam hal ini,” ungkap Marlison, dilansir dari CNBC Indonesia, Kamis (23/3/2023).
Marlinson sendiri mengaku belum mendengar mengenai pembicaraan yang lebih lanjut.
Meski begitu, BI akan selalu siap jika sudah diminta melakukan redominasi mata uang oleh pemerintah.