Teras Merdeka – Pembangunan rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari DKI Jakarta ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara masih terus berjalan. Namun beberapa media asing justru kembali menyoroti sejumlah perkara pada proyek besar RI tersebut.
Media The Diplomat dalam artikel berjudul ‘Why Will People Want to Live in Indonesia’s New Capital?‘ yang terbit pada Rabu (14/3/2023) menyebutkan, pemerintah masih berjuang untuk menarik investor. Bahkan menawarkan insentif besar guna meningkatkan minat mereka.
Artikel yang ditulis oleh pakar ekonomi James Guild itu juga mengungkapkan bahwa investor berkantung tebal yang sedang mempertimbangkan untuk berinvestasi dalam proyek IKN, seperti SoftBank Jepang, dilaporkan mulai bersikap dingin.
Sikap itu muncul akibat adanya kekhawatiran mengenai kurangnya visi konkret untuk ibu kota baru tersebut.
“Kota-kota yang dirancang dan dibangun hanya untuk menampilkan teknologi atau infrastruktur cenderung memiliki rekam jejak yang buruk. Mereka sering terbengkalai atau kurang terpakai karena meskipun perencanaannya mencerminkan konsep pemikiran tinggi dan strukturnya ramping dan futuristik, tidak ada alasan kuat bagi orang untuk tinggal di sana,” tulis Guild.
“Jika ingin sukses, Nusantara perlu menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kota pintar berkonsep hijau dan berkonsep tinggi dengan jalan, lanskap, dan infrastruktur yang bagus,” opini yang ditampilkan Guild.
Dalam opini tersebut juga memberikan saran untuk adanya hal baru yang mendasar sehingga menarik orang mau tinggal di sana.
“Perlu ada sesuatu – atau banyak hal – di luar struktur fisik yang akan menarik orang masuk dan membuat mereka ingin tinggal di sana. Ini bisa berupa universitas kelas dunia atau pusat penelitian dan pengembangan mutakhir atau pusat industri hijau,” keterangan dalam artikel tersebut.
Harga Tanah Melonjak
Sementara itu, Reuters juga menyoroti persoalan harga tanah di sekitar IKN yang melonjak. Bahkan pemerintah dianggap ‘membunuh’ perlahan warga sekitar.
Melansir pemberitaan CNBC Indonesia, Lurah Sukaraja, Rizki Maulana Perwira Atmadja mengatakan, harga tanah di sekitar desanya atau sekitar 10 km dari tempat istana presiden sedang dibangun, harganya melonjak hingga empat kali lipat.
Akan tetapi, lonjakan harga tanah tersebut justru bagai buah simalakama.
Salah satu warga dari suku asli Balik di daerah itu, Yati Dahlia mencoba untuk membeli tanah di suatu tempat di dekatnya, setelah mengetahui rumahnya saat ini berada di lokasi gedung pemerintah yang akan dibangun.
Ia menjelaskan, harga telah melonjak menjadi Rp 700 juta hingga Rp 1,2 miliar untuk sebidang tanah berukuran serupa di luar wilayah utama Nusantara.
Harga tersebut naik hingga 10 kali lipat dari kompensasi pemerintah untuk tanahnya serta gubuk kayu lapis biru, tempatnya sekarang menjual makanan.
“Kami merasa (pemerintah) membunuh kami secara perlahan,” kata Yati, sebagaimana dikutip media tersebut.
Tersingkirnya Masyarakat Asli sekitar IKN
Sementara itu, media Aljazeera menyorori persoalan penggusuran masyarakat adat oleh proyek besar RI tersebut.
Masih mengutip media yang sama, salah satu yang terdampak ialah Sernai (68) yang tinggal di sebuah desa bersama masyarakat adat Balik. Desa tersebut diketahui akan menjadi bagian dari IKN.
“Orang-orang dari ibukota akan datang. Mereka mendorong kita keluar. Mereka akan mengambil rumah saya pada akhirnya,” ucapnya.
Sebagian rumah dan tanah pertaniannya juga diambil untuk pembangunan waduk. Di mana ditujukan sebagai bendungan guna melayani ibu kota baru.
“Kami bahkan tidak bisa mendapatkan air lagi karena sungai tersumbat. Sungai dulunya adalah sumber kehidupan kami. Kami akan meminumnya, mandi di sana, dan menggunakannya untuk memasak. Sekarang kami tidak dapat mengaksesnya lagi,” tambahnya.
Sernai menjelaskan, pemerintah memberi keluarganya, termasuk 17 cucunya, sekitar Rp 46 juta sebagai kompensasi. Sayangnya, jumlah tersebut tidak cukup untuk menebus gangguan pada kehidupan mereka.
Tak hanya itu, Kepala suku Balik Sibukdin (60) mengatakan, beberapa orang di daerahnya menolak pindah lantaran merasa tanah merupakan identitas mereka.
“Kami hanya meminta pemerintah memberikan perhatian khusus kepada kami,” terang Sibukdin.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperkirakan, setidaknya ada 20.000 masyarakat Adat yang akan direlokasi seiring pembangunan di Nusantara berlangsung.
Kelompok advokasi seperti AMAN mengatakan salah satu tantangan utama bagi masyarakat adat yaitu membuktikan kepemilikan tanah guna mendapatkan kompensasi dari pemerintah.