Teras Merdeka – Maraknya pasangan yang tinggal bersama tanpa ada status pernikahan semakin menjadi “tren” di Indonesia. Padahal, praktik yang diistilahkan sebagai “kumpul kebo” itu adalah hal yang dilarang di negeri ini, lantaran bertentangan dengan nilai-nilai hukum dan agama di Indonesia.
Semakin memudarnya ketabuan “kumpul kebo” ini, menunjukkan adanya pergeseran pandangan terhadap pernikahan. Menurut The Conversation, praktik yang semakin dinormalisasi ini juga berkaitan dengan semakin banyak yang mempercayai bahwa ‘komitmen’ lebih longgar dibandingkan berstatus pernikahan.
Berbeda dengan Eropa Barat dan Utara, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia baru, di Asia yang menjunjung tinggi budaya, tradisi, serta agama, “kumpul kebo” tidak mendapatkan pengakuan legal. Jikapun terjadi, “kumpul kebo” hanya berlangsung dalam waktu yang singkat dan dinilai sebagai langkah awal menuju pernikahan.
Di Indonesia, menurut studi berjudul The Untold Story of Cohabitation (2021) mengungkapkan bahwa “kumpul kebo” lebih banyak terjadi di Indonesia bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Baca Juga: [OPINI] Pentingnya Pendidikan Berkualitas untuk Kendalikan Rantai Pernikahan Dini
Mengutip dari CNBC Indonesia, peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado yang merupakan lokasi penelitiannya memilih untuk “kumpul kebo” bersama pasangan, yakni beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, hingga penerimaan sosial.
“Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6% penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi,” ungkap Yulinda, dikutip Rabu (16/10/2024).
“Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal,” lanjutnya.