Teras Jepara – Tenun Troso dikenal sebagai salah satu budaya yang menjadi ciri khas Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Tak heran jika Pemerintah Kabupaten Jepara terus mengupayakan kelestarian serta pengembangan eksistensinya.
Di Jepara sendiri, terdapat satu daerah yang menjadi sentra pengrajin Tenun Troso, yakni di Desa Troso, Kecamatan Pecangaan, Jepara. Berbagai macam produk Tenun Troso diproduksi di sini, mulai dari kain lembaran, pakaian jadi, hingga aksesoris.
Sebagai sentra produksi tenun, bukan pemandangan yang tabu ketika memasuki desa dan melihat toko-toko berderet menjajakan produk kain yang pada April lalu, baru saja ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda dari Jepara.
Bahkan, di pekarangan rumah warga Desa Troso juga banyak dijumpai helaian benang ikat berbagai warna yang sedang dijemur.
Berdasarkan SK Nomor 9 tahun 2010, Desa Troso sudah ditetapkan sebagai desa wisata dengan potensinya berupa kain tenun.
Dari 21.250 masyarakat desa Troso, terdapat 8.000 pekerja yang setiap harinya melakukan proses produksi kain tenun. Jumlah tersebut tersebar di 283 unit usaha produksi dalam skala atas sampai menengah, serta 600 lebih UMKM yang bergerak sebagai pengusaha sekaligus pengrajin.
Namun, jumlah pekerja tersebut tidak semuanya berasal dari desa Troso. Mereka tersebar di beberapa desa bahkan ada yang di Desa Bakung, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak.
Menariknya, rata-rata para pekerja tersebut sudah berusia senja dan para ibu rumah tangga yang memilih untuk tidak bekerja di pabrik.
Carik Desa Troso, Abdul Jalil, menjelaskan bahwa saat ini, Desa Troso memang kesulitas dalam mencari regenerasi penenun kain troso. Ia mengatakan, anak-anak muda di desa tersebut lebih tertarik untuk menjadi distributor dengan menjualnya di pasar online.
“Memang sulit karena disamping kita tidak punya lembaga formal yang khusus mempelajari tentang tenun, kita juga sulit regenerasi untuk mengarahkan anak-anak muda agar tertarik menekuni produksi tenun,” jelasnya saat ditemui di Kantor Balai Desa Troso, belum lama ini.
“Jadi pemuda sekarang senangnya yang praktis. kalau bidang tenun ya senangnya menjual tenun itu tok. Untuk bidang produksi kurang tertarik,” tambah pria yang juga sebagai anggota dari Yayasan Tenun Troso Kabupaten Jepara itu.
Sebagai perangkat desa dan juga pemerhati tenun, ia merasa bertanggung jawab untuk kelestarian Tenun. Sehingga, pihak desa berusaha mensiasati dengan memberikan edukasi kepada masyarakat di luar desa. Mereka diajari proses menenun dan dibekali dengan alat tenun.
“Tapi harapannya anak-anak muda Troso bisa tertarik untuk meneruskan dan mengembangkan usaha tenun,” katanya.
Peningkatan Nilai Investasi
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Kepala Desa Troso, Abdul Basyir yang mengatakan bahwa jumlah penenun di Desa Troso sendiri saat ini mengalami naik turun.
“Yang muda sudah sebagain lari ke garmen, tapi orang-orang tua yang di luar Desa Troso masih bisa menikmati Tenun Troso. Karena kerja tenun bisa disambi momong, disambi masak. Orang-orang luar desa itu pada dibawa pulang mesinnya. Jadi yang memilih tidak ke garmen masih eksis dengan bekerja sebagai penenun,” jelasnya.
Ia juga mengharapkan dengan ditetapkannya Tenun Troso sebagai Warisan Budaya Takbenda, ke depannya industri ini bisa lebih maju dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
“Saya bersyukur dan terima kasih kepada pemerintah Indonesia yang telah mengakui tenun Troso sebagai Warisan Budaya Takbenda. Bagi kami, ini adalah penghargaan dan pengakuan yang sangat besar. Ke depan, paling tidak akan lebih meningkat dan lebih maju,” ungkapnya.
Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jepara dari BKPM RI Triwulan IV Tahun 2022, nilai investasi PMA industri tekstil di Jepara kurang lebih mencapai Rp 96 miliar. Namun jumlah itu industry tekstil secara keseluruhan.
Pj. Bupati Jepara, Edy Supriyanta dalam kesempatan yang berbeda mengungkapkan bahwa pihak pemkab mengupayakan agar investasi tersebut bisa menyeluruh. Artinya, tidak hanya untuk industri garmen, tetapi juga untuk sektor budaya lokal.
“Karena jika produk budaya lokal tidak dibarengi dengan nilai investasi yang mumpuni, akan sulit dalam pengembangannya dan bisa saja tergeser oleh industri-industri lainnya,” terangnya.
Sehingga, ia melanjutkan, masih diperlukan upaya dan kerjasama antara pemerintah dengan stakeholder untuk meningkatkan persaingan pasar terhadap produk lokal di wilayahnya.
“Mudah-mudahan ke depan bisa tercapai, ada pengembangan dan peningkatan nilai jual untuk produk budaya lokal, termasuk kemajuan pengelolaan industrinya, sehingga bisa terus meningkat dan terus eksis,” paparnya. [ADV-TM]