Teras Merdeka – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dalam Prospek Cuaca Mingguan Periode 26 Juli – 1 Agustus 2024, meminta sejumlah wilayah untuk waspada terjadinya hujan.
BMKG menerangkan, secara umum wilayah Indonesia masuk musim kemarau. Akan tetapi, adanya Gelombang Ekuator Rossby diprediksi dapat memicu wilayah yang sebelumnya mengering akibat musim kemarau kembali basah seminggu ke depan.
“Tetap waspada di musim kemarau: potensi karhutla di sebagian wilayah, di sebagian yang lain potensi hujan masih ada!” demikian menurut lembaga.
BMKG menuturkan beberapa wilayah di Indonesia bagian selatan sudah memasuki puncak musim kemarau. Sejak tiga hari terakhir, cuaca cerah pun mendominasi hampir di seluruh pulau Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan bagian selatan.
Meski demikian, lembaga menyebut dalam sepekan ke depan ada peningkatan potensi hujan di Indonesia khususnya wilayah tengah hingga timur.
“Mulai dari Aceh, Sumatra Utara, Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Maluku Utara, NTT, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, Papua Selatan,” ungkap Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto, dalam keterangan persnya, Kamis (25/7/2024).
Ia mengatakan bahwa kondisi ini dipengaruhi oleh Gelombang Ekuator Rossby yang diprakirakan aktif di wilayah tersebut. Aktivitas gelombang ini mendukung potensi pertumbuhan awan hujan di wilayah-wilayah itu.
Gelombang Ekuator Rossby
Gelombang Ekuator Rossby merupakan gelombang atmosfer yang bergerak ke arah barat di sepanjang wilayah ekuator (20LU – 20LS) dengan periode kurang dari 72 hari. Gelombang Rossby umumnya bisa bertahan 7-10 hari di wilayah Indonesia.
Dampak Gelombang Ekuator Rossby di Indonesia akan menjadi lebih ekstrem jika terjadi bersamaan dengan aktifnya fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) pada periode dan lokasi yang sama.
Untuk saat ini, MJO berada pada fase netral dan tidak berkontribusi terhadap pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.
Selain itu, Guswanto menyebut ada faktor pemanasan skala lokal yang memberikan pengaruh cukup signifikan dalam proses pengangkatan massa udara dari permukaan bumi ke atmosfer.