Teras Semarang – Para buruh dari sejumlah elemen di Semarang, Jawa Tengah mengadukan sejumlah persoalan. Salah satunya terkait penerapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang belum dilaksanakan di seluruh perusahaan.
“Alhamdulillah, (Red: UMK) di Kota Semarang bisa dimaksimalkan, kenaikannya,” kata Konsulat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cabang Kota Semarang Sumartono, di Balai Kota Semarang, Senin (6/2/2023).
Menurut Sumartono, kenaikan UMK di Kota Semarang memang sudah maksimal. Pada 2023 mencapai Rp 3,06 juta, tetapi untuk sekelas ibu Kota Jawa Tengah sebenarnya masih tergolong kecil.
“Permasalahannya, UMK ini belum bisa diterapkan di semua perusahaan. Harapannya, permasalahan ini segera ditindaklanjuti agar semua buruh di Kota Semarang merasakan UMK yang sudah ditetapkan wali kota dan gubernur,” paparnya.
Selain itu, terdapat pula permasalahan lain. Seperti mengenai struktur skala upah. Sebab, bagi buruh dengan masa kerja di atas satu tahun semestinya ada pembeda dari segi upah, dengan pekerja yang masih di bawah satu tahun.
“Harapan kami, ada jaminan yang ditetapkan dari pemerintah sehingga pekerja lebih aman dalam bekerja. Yaitu mengenai kepastian kerja, ‘income security’, dan ‘social security’,” kata Sumartono.
Sementara itu, Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu yang menemui perwakilan buruh yang berunjuk rasa menyatakan, akan berupaya memfasilitasi apa yang dikeluhkan para buruh.
“Tentu ada beberapa hal yang bisa kami lakukan. Ada beberapa hal yang sudah ada pakemnya, yakni undang-undang, salah satunya Omnibus Law,” terang Ita, sapaan akrab Hevearita.
Ita juga menyatakan bahwa ada beberapa keluhan. Salah satunya terkait perusahaan yang membayar buruh di bawah UMK yang ditetapkan. Akan tetapi dipastikannya bahwa perusahaan di Semarang telah memenuhi ketentuan soal UMK.
“Di Kota Semarang, insya Allah, tidak ada. Kami sudah berjuang agar buruh mendapatkan upah yang sesuai dan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) memberikan sesuai dengan ketentuan yang ada,” paparnya.
Buruh, ia melanjutkan, juga menginginkan skala upah. Akan tetapi sebagaimana diatur dalam UU Omnibus Law, memang tidak memungkinkan karena para pekerja dikontrak setiap satu tahun sekali. Kemudian diulang lagi untuk kontrak baru.
Selanjutnya, Pemerintah Kota Semarang juga tidak dapat menanggung dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) karena tidak ada kontrak antara pemerintah dan pekerja. Kontrak dilakukan antara pekerja dengan perusahaan.
Meski demikian, Ita juga berjanji akan berkomunikasi dengan kalangan pengusaha. Termasuk mengenai usulan CSR dari perusahaan digunakan untuk kemudahan buruh akan segera disampaikan.